Secara umum, orang Tionghoa biasa menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai Thian Kong (Tian Gong) atau Thi Kong, ada pula yang menyebutnya sebagai Siang Te atau Shang Di (上帝). Sebenarnya pengertian ini rancu, sebab pengertian Thian Kong dan Shang Di maknanya agak berbeda. Istilah Thian (Tian) sebenarnya secara harafiah berarti ‘langit’, yang menunjukkan tempat kediaman dari Shang Di (Siang Te), sedangkan Shang Di sendiri berarti ‘yang termulia yang berada paling atas’.
Dalam buku-buku Tiongkok kuno (sebelum era Laozi), orang Tiongkok sudah mempercayai adanya ‘sesuatu’ sebagai penguasa segala sesuatu di jagat raya ini. ‘Sesuatu’ ini umumnya disebut Shang Di atau Thian, sebab menurut mereka, ‘sesuatu’ penguasa kedudukannya pastilah di atas. Sejalan dengan pemujaan kepada Shang Di atau Thian, mereka juga mempercayai bahwa di tempat-tempat tertentu memiliki penguasa-penguasa sendiri (semacam penguasa lokal), sehingga timbul juga pemujaan kepada ‘penguasa-penguasa lokal’ tersebut (misalnya penguasa sungai, penguasa gunung, penguasa bumi, dan sebagainya).
Setelah era Laozi, pemujaan kepada Shang Di dan pemujaan kepada ‘penguasa-penguasa lokal’, sedikit demi sedikit mulai tertata bentuknya sehingga hirarki pemerintahan langit menjadi semakin jelas. Menurut buku ‘Myths and Legends of China’ karanganvWerner, orang Tionghoa percaya bahwa pemerintahan surga / langit / kayangan, termasuk para dewa dan malaikat, dipimpin oleh suatu sistem pemerintahan yang mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di bumi. Dalam sastra Tionghoa disebutkan sebagai Tian Di Yi Li atau ‘Langit dan bumi punya tatanan yang sama’.
Pemimpin tertinggi dan berkuasa penuh atas jagat raya, dipegang oleh Siang Te (Shang Di), dan menteri-menterinya dijabat oleh para dewa, baik sipil maupun militer. Kaisar yang memerintah di daratan Tiongkok dipercayai sebagai utusan dari langit (utusan Siang Te) yang diberi mandat untuk memerintah di bumi (oleh sebab itu, Kaisar Tiongkok selalu disimbolkan sebagai naga – hewan perkasa dari langit. Jubah kebesaran Kaisar disebut jubah Naga. Selain Kaisar, tidak seorangpun boleh menggunakan attribut ataupun hiasan Naga. Bagi yang melanggar akan terkena hukuman pancung, sebab berarti dia men-sejajar-kan kedudukannya sama dengan kaisar). Upacara sembahyang kepada Siang Te hanya dilakukan oleh Kaisar dan keluarga kerajaan, rakyat tidak boleh mengikuti ataupun menghadirinya. Bagi rakyat, memuja Kaisar sebagai utusan Siang Te yang ada di dunia, sudah merupakan wujud pemujaan kepada Siang Te sendiri. Bila ada rakyat yang berani memuja kepada Siang Te secara langsung, berarti men-sejajar-kan dirinya dengan kaisar dan dapat dikenai hukuman mati.
Karena rakyat tidak mempunyai hak untuk memuja Shang Di secara langsung, maka ketika mereka mempunyai seorang Kaisar yang lalim dan penindas kaum lemah, rakyat mulai mencari obyek pengaduan agar penderitaan mereka berubah menjadi baik. Rakyat kemudian mempersonifikasikan dan melakukan pemujaan kepada Thian (Tian), yang sebenarnya hanyalah tempat kediaman Siang Te. (Mungkin mirip dengan zaman sekarang, dimana apabila ada kepala pemerintahan yang korupsi, maka rakyat lalu berbondong-bondong datang dan berunjuk-rasa di gedung kepala pemerintahan tersebut). Pemujaan kepada Thian tidak dilarang oleh Kaisar, bahkan Kaisar juga kadang-kadang ikut memujanya (di Beijing ada ‘Tian Tan’ – altar pemujaan kerajaan), sedangkan rakyat biasanya melakukan pemujaan di depan pintu rumah masing-masing.
Dengan adanya pengaruh Taoisme, maka kemudian bermunculan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai Shang Di. Dalam buku-buku kuno, tokoh Shang Di memiliki beberapa sebutan, antara lain: Ming Ming Shang Di, Tang Tang Shang Di, Wei Huang Shang Di, Yuan Shi Tian Zun, Yu Huang Shang Di, dan lain-lain.
Setelah munculnya pengaruh Konfusianisme, mulailah upacara sembahyang kepada Shang Di tertata lebih jelas. Dalam ajaran Konfusius, dikenalkan adanya tiga unsur dalam alam semesta, yaitu unsur Tian Huang (Penguasa Langit), Di Huang (Penguasa Bumi) dan Ren Huang (Penguasa Manusia). Penguasa tertinggi terletak pada Tian Huang atau Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut sebagai Huang Tian Shang Di. Pemujaan kepada Huang Tian Shang Di, banyak dilakukan oleh kaisar-kaisar dari zaman dinasti Ming dan Qing. Hal ini disimpulkan karena pada Altar ‘Tian Tan’ terdapat sebilah papan suci yang bertuliskan Huang Tian Shang Di.
Dengan masuknya pengaruh Buddhisme, kemudian muncul suatu aliran yang disebut Thian Tao (Tian Dao), yang merangkum ketiga ajaran yaitu Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Aliran ini mempertegas nama dan kedudukan Siang Te. Menurut mereka, alam semesta ini terdiri dari tiga tingkat, yaitu Li Tian (Nirwana), Qi Tian (Kayangan) dan Xiang Tian (Bumi). Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Bing Bing Siang Te (Ming Ming Shang Di) dan berkedudukan di Li Tian / Nirwana. Bing Bing Siang Te mengeluarkan firmannya yang disebut Tao, yang merupakan sumber kebenaran dan sumber kehidupan semua makhluk. Sebagai pelaksana pemerintahan alam semesta dijabat oleh Yu Huang Shang Di dengan dibantu para dewa-dewi dan malaikat sebagai menteri-menterinya, yang berkedudukan di Qi Tian / Kahyangan. Kedudukan Yu Huang Shang Di dijabat secara berganti-ganti dan mempunyai batasan waktu. Sedangkan sebagai pelaksana pemerintahan di bumi, dijabat oleh para Huang Di (kaisar atau raja).
Setelah zaman dinasti Song (tahun 960 – 1280), pengertian Thian dan Siang Te menjadi kabur, apalagi Kaisar sudah tidak begitu keras memberikan larangan pemujaan kepada Siang Te. Kemudian pada zaman dinasti Qing, bangsa Manchuria menjajah bangsa Han, akibatnya banyak para tokoh bangsa Han yang harus melarikan diri dari kejaran pasukan Manchuria. Mereka banyak yang bersembunyi di kebun tebu, sehingga pasukan Manchuria tidak bisa melihatnya. Setelah aman, mereka kembali ke rumah masing-masing dan mensyukuri keselamatan mereka itu dengan mengadakan sembahyang King Thi Kong (Jing Tian Gong). Sembahyang King Thi Kong ini biasanya dilakukan pada tanggal 8 malam tanggal 9 bulan 1 Imlek, tepat jam 12 tengah malam. Tradisi ini turun temurun hingga sekarang.
Hal-hal yang dapat mengingatkan orang Tionghoa kepada pengalaman leluhurnya waktu itu, biasanya diikut sertakan dalam tata-cara sembahyang King Thi Kong, misalnya : - Meja sembahyang King Thi Kong biasanya diletakkan di atas dua atau empat bangku kecil. Hal ini disebabkan sewaktu pertama kali mengadakan sembahyang King Thi Kong sebagai rasa syukur, leluhur mereka tidak memiliki meja khusus. Padahal leluhur mereka mempercayai bahwa pemujaan kepada Thi Kong (Tuhan) harus di atas pemujaan biasa (melakukan penghormatan di atas kepala), maka meja yang biasa (pendek) diberi ganjal bangku supaya menjadi lebih tinggi. - Di kanan kiri sisi meja, biasanya diikatkan sebatang tebu yang masih utuh (ada akar sampai ujung daunnya). Hal ini untuk mengingatkan saat leluhur mereka dikejar-kejar pasukan Manchuria dan bersembunyi di kebun tebu. Selain itu, tebu yang masih utuh juga melambangkan hidup manusia, bahwa kesuksesan seseorang harus dibangun dengan akar yang kuat (akar tebu), melalui berbagai rintangan dan pengalaman hidup (ruas tebu) sampai tercapainya kesuksesan (daun tebu yang menjulang tinggi). Kadang-kadang juga diletakkan berbagai macam sajian yang sebenarnya mengandung makna-makna tertentu, misalnya sesaji wajik – kue mangkok – kue khu, melambangkan hok lok siu (fu lu shou). Wajik biasanya disajikan dalam bentuk gunungan seperti tumpeng, yang bermakna agar keberuntungannya menggunung. Kue mangkok yang bentuknya selalu merekah pada bagian atasnya, bermakna agar hidupnya berkembang. Kue khu yang cetakannya berbentuk kura-kura, bermakna agar hidupnya panjang usia seperti kura-kura. Sajian lain biasanya disediakan lima macam buah dan enam macam masakan sayuran yang biasa disebut Ngo Ko Liok Jay (Wu Guo Liu Chai), bahkan ada juga yang menambahkan masakan dari tiga macam hewan (Sam Sing / San Xing) atau lima macam hewan (Ngo Sing / Wu Xing), dimana sajian Sam Sing atau Ngo Sing itu sebenarnya ditujukan untuk para malaikat pengawal Thian Kong.
Disini jelaslah bahwa orang Tionghoa mempercayai adanya Tuhan sebagai penguasa tertinggi di jagat raya ini. Hanya saja konsepsi ke-Tuhan-an ini berbeda dengan agama-agama lain, sebab bagi orang Tionghoa, Tuhan atau Thian Kong adalah Pencipta yang Esa, sedangkan pembantu-pembantunya (para dewa dan malaikat) yang bertugas mengawasi, menghukum dan memberikan ganjaran kepada manusia, sesuai dengan perbuatannya.
Pemujaan kepada Thian Kong semata-mata untuk mensyukuri segala berkah yang telah diberikanNya kepada kita, sedangkan segala permohonan dilakukan kepada masing-masing dewa pembantu Thian Kong yang sesuai dengan tugasnya. Thian Kong menurut pengertian Tao adalah Esa, tidak bersifat ‘Im-Yang’ atau dualisme (baik-buruk, fana-baka, menghukum-mengganjar, dll). Sedangkan para pembantuNya, mulai dari tingkatan Giok Hong Tay Te (Yu Huang Da Di) yang tertinggi sampai malaikat terendah, masih memiliki sifat atau unsur ‘Im-Yang’. Itu sebabnya, mengapa di tempat pemujaan Thian Kong (Tian Gong Lu), tidak pernah terdapat Pwak Pwee (keping penunjuk untuk berkomunikasi dengan dewa) ataupun Cu Ciam (tabung berisi batang penunjuk angka ramalan). Begitu pula bahwa Thian Kong sebagai yang Esa, tidak pernah di-patung-kan (dipersonifikasikan). Dengan berkembangnya waktu, pengertian Thian Kong (Tian Gong) dan Giok Hong Tay Te (Yu Huang Da Di) menjadi kabur, sehingga pemujaan kepada Thian Kong secara ‘salah kaprah’ dianggap sama dengan memuja kepada Giok Hong Tay Te. Apalagi hari ulang tahun Giok Hong Tay Te jatuh pada tanggal 9 bulan 1 Imlek, beberapa saat setelah dilangsungkannya upacara sembahyang King Thi Kong. Sebenarnya apabila diteliti, ada beberapa hal yang menguatkan pendapat bahwa Giok Hong Tay Te bukanlah Tuhan Yang Maha Esa, yaitu : - Pemujaan kepada Giok Hong Tay Te baru populer pada sekitar abad 11 (era dinasti Song). - Giok Hong Tay Te masih dipersonifikasikan, antara lain dalam bentuk gambar maupun arca. - Dalam cerita Se Yu Ki, Giok Hong Tay Te sempat dibuat ‘bingung dan kelabakan’ saat berhadapan dengan Sun Go Kong, sehingga ia meminta bantuan Ji Lay Hud. - Konon Giok Hong Tay Te memiliki anak. Salah seorang anaknya (putera ke empat), dipuja orang dengan gelar Giok Hong Tay Cu (Yu Huang Tai Zi). - Dalam gambar maupun arca Giok Hong Tay Te ditampilkan dengan membawa ‘Chao Hu’, yaitu semacam ‘surat tugas’ yang diberikan oleh kaisar kepada bawahannya, ‘surat’ tersebut biasanya dibawa di depan dada (disojakan) bila akan menghadap kaisar. Dari beberapa hal di atas, sebenarnya jelaslah perbedaan antara pemujaan kepada Thi Kong/ Tian Gong dengan pemujaan kepada Giok Hong Tay Te.大概看个了解,不代表本人立场,纯属研究文章。华人宗教华教,吗乃语名为agama Tionghoa,英语为Chinese Religion, C.R.。
Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan rakyat yang dipercayai oleh kebanyakanbangsa Tionghoa dari suku Han. Kepercayaan ini tidak mempunyai kitab suci resmi dan sering merupakansinkretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat seperti Konfusianisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu.
Penghormatan
Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan yaitu:
Penghormatan lelulur[sunting | sunting sumber]
Penghormatan leluhur adalah penghormatan kepada nenek moyang yang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh.
Penghormatan dewa-dewi[sunting | sunting sumber]
Penghormatan dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa pada zaman mereka hidup.